Tayub Sebagai Seni Karuhun Sumedang

Melihat asal-usulnya, tarian tayub muncul dari kalangan menak. Tetapi, sekarang bukan hanya para menak yang boleh menari dalam tayuban. Dahulu, menurut Enoch Atmadibrata, alasan tayuban disukai karena memperebutkan para penari yang disebut ronggeng. “Sayangnya, banyak kejadian yang menyinggung kesusilaan, misalnya berani menyelipkan uang ke dada ronggeng atau menggigit uang sambil berharap diterima oleh sang ronggeng dengan digigit lagi, tapi hal seperti itu sekarang tidak ada lagi. Tarian ini mengungkapkan kegembiraan.Gerakannya merupakan improvisasi. Secara spontanitas, penari tayub bisa menciptakan improvisatoris, tapi tetapsesuai dengan musik pengiring.




Tarian tayub bisa dijadikan sebagai ajang silaturahmi. Artinya, tarian tayub bukan tampilan tari yang memisahkan penonton dengan yang ditontonnya.Dalam tayub semua yang ada (para hadirin) bisa ikut menari walaupun sebenarnya tidak bisa. Dalam tarian tayub ada hal yang menyerupai tarian ketuk tilu., yaitu menghibur, penonton yang menari sambil ikut menari. Perbedaannya dalam prakteknya dan perlengkapan lainnya.Gerakannya merupakan improvisasi. Ada yang menyebutkan bahwa tarian tayub berasal dari tarian silaturahmi di kalangan para menak, sedangkan ketuk tilu di kalangan rakyat biasa.Ada yang menyebutkan bahwa tarian tayub berasal dari tarian silaturahmi di kalangan para menak, sedangkan ketuk tilu di kalangan rakyat biasa.

Sejarah Tayub
Mengenai sejarah asal-usul seni Tayub sampai sekarang masih diwarnai beberapa pendapat. Tetapi sejarah perkembangan Tayub kebupaten Sumedang menarik kesimpulan sementara bahwa Tayub berasal dari Talaga. Hidup kira-kira abad ke-9 dikembangkan oleh raja Galuh Talaga. Penagru kekuasaan dapt mendorong terhadap perkembangan kesenian tradisional, selain itu hubungan kerjasama sesama kerajaan merupakan bagian dari pengaruh kesenian tersebut.
Kemudian dibawa oleh para senimanTalaga ke daerah timur Sumedang, yang mana pada abad 9 kira-kira tahun 900 M telah berdiri kerajaan Sumedang Larang dengan menobatkan Prabu Tajimalela sebagai Nalendra Prabu. Pada saat itula seni Tayub berkambang di lingkungan istana. Fungsinya sebagai media penyambutan terhadap tanu kebesaran, selain sebagai media hiburan di kalangan keluarga dan kerabat istana.
Menurut cerita rakyat Darmaraja dan Limbangan, Prabu Tajimalela turut pula mengembangkan kesenian tersebut bermunculan seni Tayub di daerah Limbangan dan Malangbong, pada masa itu wilaya tersebut berada dalam kekuasaaan Sumedang Larang. Dalam perkembangan selanjutnya seni tayub tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, atau tidak hanya dikenal di kalangan para pejabat kerajaan, tetapi mulai mengakar dalam nurani rakyat.
Seni tayub ini menonjol di daerah Darmaraja, Cadasngampar/Jatinunggal, Wado dan Pagerucukan (Situraja), bahkan sampai sekarang telah menjadi seni unggulan daerah-daerah setempat.
Perkembangan seni Tayub menonjol pada masa Kabupatian, pada umumnya para Bupati yang memegan pemerintahan Sumedang sangat menggemari kesenian tersebut, bahkan danya sentuhan kreasi dari para Dalem menciptakan khas ibingan (tarian) disebut Tari Tayub.

Jenis Waditra
Waditra yang digunakan dalam pertunjukan tayub tidak jauh bebeda dengan peralatan gamelan yang digunakan dalam sajian kiliningan, akan tetapi kadang kala di tambah oleh waditra bedug kecil atau tambur. Peran gamelan sangat dominan sebagai pengiring lagu dan tarian rakyat.
Pada umumnya gamelan Tayub dibuat dari perunggu, ada juga yang menggunakan bahan besi dan plat baja, hal itu disesuaikan dengan tingkat penggarapnya.

Jenis Lagu
Ditinjau dari perspektif kronologis perkembangan lagu-lagu yang digunakan dalam pertunjukan Tayub teridiri dari lagu-lagu klasik dan lagu-lagu wanda anyar, artinya jenis lagu yang telah mendapat sentuhan dari unsur seni lain. Lagu-lagu klasik diantaranya :
  1. Kembang Gadung
  2. Kulu-kulu bem
  3. Kulu-kulu gancang
  4. Gendu
  5. Tablo
  6. Badaya
Lagu-lagu wanda anyar turut mendorong terhadap perkembangan dan khasanah lagu-lagu Tayub, dan merupakan konsekuensi penggarap dalam memenuhi selera penonton atau peminat. Lagu-lagu wanda anyar diantaranya :
  1. Nikmat Duriat
  2. Lalaki Raheut Hatena
  3. Bulan Sapasi
  4. Dua Saati
  5. Potret Manehna
  6. Awet Rajet
  7. dsb

Bentuk/Teknik Penyajian
Pertunjukan sei Tayub yang tumbuh dan berkembang di kawasan timur Sumedang ; Darmaraja, Situraja, Jatinunggal dan Wado pada umumnya digelar diatas panggung, baik di halaman rumah maupun di tempat terbuka seperti halaman bale desa atau lapang. Pelaksanaannya di tentukan oleh keinginan yang menggunakannya, seperti upacara ngarot atau ngaruat lembur, syukuran, khitanan, pernikahan, hari-hari bersejarah dan syukuran lainnya. Dalam seni Tayub mengenal juru baksa umumnya pria, fungsinya sebagai pemimpin yang mengatur jalannya pertunjukan sekaligus mengatur para penari pria. Juru tari (ronggeng) berperan sebagai patner penari pria yang jumlahnya dua orang atau lebih. Selain itu juru tari berfungsi sebagai patner juru baksa ketika menarikan gaya soderan, maksudnya menghantarkan untuk menentukan giliran penari. Penonton yang ada di arena hiburan kemudian di beri soder tandanya harus menari, kalau tidak bisa menari dapat di wakilkan kepada juru tari atau kepada orang lain.
Biasanya orang pertama yang mendapat soder adalah yang punya hajat dan merupakan suatu penghargaan tertentu. Kemudian kepada tokoh-tokoh pemerintah, setelah itu giliran tokoh-tokoh masyarakat, kemudian dilanjutkan soder untuk umum. Hal tersebut merupakan aturan yang telah dibakukan, tujuannya untuk menciptakan ketertiban dalam pertunjukan.
Seni Tayub tak lepas dari pengaruh bayang-bayang pengaruh unsur seni lain, terutama seni yang didukung oleh teknologi seperti alat-alat elektrik. Pengaruh musik barat mendorong terhadap inovasi dengan memadukan unsur seni tayub dengan musik barat, demikian juga tarian mendapat sentuhan dari perkembangan seni tari wanda anyar, lahirlah istilah jaipongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar