Kesenian tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi kebudayaan yang  hidup dalam masyarakat penyangganya. Sejak dulu masyarakat Sunda  terkenal dengan budaya ngahuma atau berladang. Karena itu kesenian yang  tumbuh di masyarakat Sunda selalu terkait dengan mitos Dewi Sri. Begitu  pula dengan kesenian Jentreng atau lebih terkenal dengan sebutan  Tarawangsa.
Seni Jentreng atau Tarawangsa adalah kesenian yang tumbuh dari pola  kehidupan bertani masyarakat Rancakalong Kabupaten Sumedang. Seni  Jentreng adalah upacara ritual yang berhubungan dengan magis religius  untuk menghormati Dewi Sri. Masyarakat Rancakalong menyebutnya dengan  nama Kersa Nyai dengan tujuan supaya Kersa Nyai tetap tinggal dan betah  di Rancakalong. Hal ini sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang  menempatkan Seni Jentreng sebagai media pokok dalam penyelenggaraan  upacara Nyalin atau panen padi.
Masyarakat Sunda pada masa itu sering mengamen ke daerah-daerah lain.  Mereka pergi mengamen sampai ke wilayah Mataram. Kemungkinan besar  Mataram pada waktu itu adalah daerah penghasil beras yang terkemuka.  Muncul keinginan pada si pengamen atau penabuh untuk mendapatkan bibit  padi sehingga dapat ditanam di daerahnya. Keinginan tersebut mendorong  si penabuh untuk membawa bibit padi dari Mataram untuk dibawa ke  daerahnya. Namun usahanya tersebut beberapa kali mengalami kegagalan  karena diketahui penjaga gerbang Mataram. Untuk ketiga kalinya penabuh  mencoba membawa bibit padi dan disembunyikan dalam alat musik yang  dibawanya, yaitu Tarawangsa. Kali ini usahanya berhasil dan dia dapat  menanam padi tersebut di Tatar Sunda. Sejak saat itu Tatar Sunda menjadi  salah satu penghasil beras yang utama.
Untuk mengungkap rasa syukurnya, masyarakat Sunda setiap selesai  panen melakukan upacara ritual untuk menghormati Dewi Sri. Pada  masyarakat Rancakalong, upacara itu disebut Jentreng atau Tarawangsa. 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar